GOLONGAN YANG DIBERIKAN UDZUR
TIDAK WAJIB MENGHADIRI SHALAT JUM’AT
1. Hamba Sahaya/Budak
2. Wanita
3. Anak-anak
4. Orang sakit
5. Musafir (orang yang sedang safar)
Dalil-dalilnya adalah :
1. Dari Thariq bin syihab bahwa Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam bersabda :
"SHALAT JUM'AT adalah hak yang wajib ditunaikan oleh setiap orang yang baligh, KECUALI EMPAT GOLONGAN: hamba sahaya, wanita, anak-anak, dan orang sakit." (H.R Abu Dawud (1067), addaruquthni (II/3) dan albaihaqi(II/183), lihat kitab Al-Irwa' (III/57)
2. Dari Jabir bahwa Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka ia wajib melaksanakan SHALAT JUM'AT pada hari jum'at, kecuali orang sakit, musafir, wanita, anak-anak, dan hamba sahaya."(H.R. Addaruquthni, ibnu adi dengan beberapa syawahid/pendukungnya. Lihat juga al irwa' (III/57)
Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa untuk orang yang dalam perjalanan(Musafir) boleh tidak jum’at dengan alasan bahwa ketika Nabi SAW melakukan wukuf di Arofah Nabi SAW sholat jama’a (Dzuhur dan Ashar), tidak jum’at, padahal wukuf diArofah pada waktu itu adalah hari jum’at, perbuatan Nabi menjama’ Dzuhur dan ashar tersebut menunjukkan beliau dalam keadaan safar di Arofah, keterangan tersebut adalah sebagai berikut
Rosullalah SAW berlalu (tidak singgah di Muzdalifah) hingga sampai di Arofah maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namiroh, kemudian beliau singgah di Namiroh, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau memerintahkan dibawakan Qoshwa (onta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya, selanjutnya beliau mendatangi lembah ,lalu beliau khutbah dihadapan orang-orang .... kemudian adzan lalu qomat kemudian Nabi sholat dzuhur lalu qomat kemudian Nabi sholat ashar (dijama’) dan Nabi tidak melaksanakan sholat (sunnat) diantara keduanya -HR: Muslim : 2 : 886)
Adapun Hadits yang menjelaskan Nabi Wukuf pada hari jum’at :
عَنْ طَارِقٍ بْنِ شِهِابٍ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْيَهُوْدِ لِعُرَبْنِ الْخَطَّابِ: يَاأَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ لَوْ عَلَيْنَا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ (اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا) لَاَتَّخَذْنَا ذَالِكَ الْيَوْمَ عِيْدًا .فَقَالَ لَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ اِنِّيْ اَعْلَمُ اَيَّ يَوْمٍ اُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ اُنْزِلَتْ يَوْمَ عَرَفَةَ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ – الترمذي : ٥:٢٥٠ -
Dari Thoriq Ibnu Syihab berkata: seorang Yahudi berkata kepada Umar ibnu Khottob : hai amirul mu’minin, kalau saja ayat ini diturunkan kepada kami (Alyauma akmaltu lakum ....:pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku cukupkan untukmu ni’mat-Ku, dan telah Aku ridloi islam itu sebagai agamamu), pasti akan kami jadikan hari tersebut untuk diperingati, Umar ibnu Khottob menjawab padanya : sungguh aku lebih tahu kapan diturunkannya ayat tersebut, yaitu pada hari Arofah pada hari jum’at (HR: Tirmidzi : 5 : 250)
Dalam riwayat imam Bukhori juga dikatakan
قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِى نُزِلَتْ فِيْهِ عَلَى النَّبِيِّ (ص) وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةَ
Umar berkata : kami tahu hari itu dan tempat dimana ayat itu turun kepada Nabi, yaitu disaat dia berdiri di Arofah pada hari Jum’at (HR : Bukhori : 1 : 17)
Ada yang mengatakan bahwa wukuf Nabi SAW hari Sabtu bukan hari jum’at, seandainya keterangan itu benar tetap saja tidak akan menggugurkan alasan Musafir boleh tidak jum’at, mengingat seandainya Nabi wukuf pada hari sabtu berarti kemarinya hari jum’at Nabi ada di Mina(hari tarwiyah), sedangkan di Mina Nabi SAW tidak jum’at.
فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ تَوَجَّهُوا اِلَى مِنَى فَأَهَلُّوْا بِالْحَجِّ وَرَكِبَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) فَصَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ (مسلم : ٨:٣٣٧)
Maka ketika hari tarwiyah, mereka pergi menuju Mina kemudian berihrom untuk haji, dan Rosullalah SAW naik kendaraan (unta) kemudian sholat dzuhur, ashar, magrib, isya dan shubuh (di Mina) (HR : Muslim : 8:337)
Shahabat yang tidak melaksanakan jum’at ketika safar :
1. Ibnu Umar
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ بْنَ عُمَرَ ذُكِرَ لَهُ اَنَّ سَعِيْدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ وَكَانَ بَدْرِيًّا مَرِضَ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ فَرَكِبَ اِلَيْهِ بَعْدَ اَنْ تَعَالَى النَّهَارُ وَاقْتَرَبَتِ الْجُمُعَةُ وَ تَرَكَ الْجُمُعَةُ
Dari Nafi’ sesungguhnya Ibnu Umar diberitahukan kepada beliau bahwasannya Sa’id ibnu Zaid ibnu Amr ibnu Nufail, orang Badar, sakit pada hari jum’at lalu Ibnu Umar berangkat menengoknya menjelang siang dan telah dekat waktu jum’at, dan dia tidak melaksanakan jum’at (HR : Bukhori , Fathul Barri : 8 : 360)
2. Anas bin Malik
عَنِ الْحَسَنِ اَنَّ اَنَسَ بْنِ مَالِكٍ اَقَامَ بِنَيْسَابُوْرَ سَنَةً اَوْ سَنَتَيْنِ فَكَانَ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُسَلِّمُ وَلَا يَجْمَعُ (ابن ابى شيبة)
Dari Hasan : sesungguhnya Anas bin Malik tinggal di Naisabur setahun atau dua tahun, maka ia suka sholat dua roka’at kemudian salam dan ia tidak melakukan jum’at (HR : Ibnu Abi Syaibah)
... كَانَ اَنَسٌ فِى قَصْرِهِ اَحْيَانًا يَجْمَعُ وَاَحْيَانًا لَا يَجْمَعُ وَهُوَ بِالزَّاوِيَةِ عَلَى فَرْسَخَيْنِ (البخاري ، فتح الباري : ٢:٥٤٦)
... Anas tinggal digedungnya, terkadang ia berjum’at dan terkadang tidak jum’at, ia tinggal di Zawiyah sejauh dua farsakh (6 mil) (HR: Bukhori , Fathul Barri : 2 : 546)
1. Ibnu Qoyyim menjelaskan :
وَوَقَفَ بِعَرَفَةَ وَخَطَبَ خُطْبَةً وَاحِدَةً وَلَمْ تَكُنْ خُطْبَتَيْنِ جَلَسَ بَيْنَهُمَا فَلَمَّا اَتَمَّهَا اَمَرَ بِلَالًا فَاَذَّنَ ثُمَّ اَقَامَ الصَّلَاةَ فَصَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ اَسَرَّ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ وَكَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَدَلَّ عَلَى اَنَّ الْمُسَافِرَ لَا يُصَلِّى جُمْعَةً ثُمَّ اَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ اَيْضًا وَمَعَهُ اَهْلُ مَكَّةَ (زاد المعاد : ٢:٢١٦)
Kemudian Nabi Wukuf di Arofah dan berkhutbah satu kali khutbah, bukan dua kali khutbah yang ada duduk diantara keduanya, dan ketika Nabi menyelesaikannya, Nabi memerintahkan Bilal untuk adzan lalu qomat kemudian sholat dzuhur dua roka’at dengan mensirkan bacaannya dan hari ituadalah hari jum’at, maka ini dalil bahwa yang safar tidak sholat jum’at, kemudian Bilal qomat lalu Nabi sholat ashar juga dua roka’at (diqishor) ... (Zadul Ma’ad : 2 : 216)
2. Imam Malik :
قَالَ الْمَالِكُ : وَالْاَمْرُ الَّذِي لَااخْتِلَافَ فِيْهِ عِنْدَنَا اَنَّ الْاِمَامَ لَا يَجْهَرُ بِالْقُرْآنِ فِى الظُّهْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَاِنَّهُ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَاَنَّ الصَّلَاةَ يَوْمَ عَرَفَةَ اِنَّمَا هِيَ ظُهْرٌ وَاِنْ وَفَقَتِ الْجُمُعَةَ فَاِنَّمَا هِيَ ظُهْرٌ وَلَكِنَّهَا قُصِرَتْ مِنْ اَجْلِ السَّفَرِ – الموطاء : ١:٣٦٧ –
Imam Malik berkata : Urusan yang tidak ada perselisihan lagi padanya menurut kami, sesungguhnya imam tidak perlu menjaharkan Alqur-an pada waktu sholat dzuhur di hari arofah, dan seseungguhnya Nabi SAW khutbah kepada para shohabat pada hari arofah dan sesungguhnya sholat pada hari arofah itu adalah dzuhur walau kebetulan pada hari jum’at, karena sesungguhnya itu adalah dzuhur, hanya saja diqoshor karena safar (Al-Muwaththo : 1 : 367)
3. Ibnu Hajar Al-Asqolani :
قَالَ الْحَافِظُ اِبْنُ حجر : وَاَمَّا اِحْتَجَّ بِهِ اِبْنُ الْمُنْذِرِ عَلَى سُقُوْطِ الْجُمُعَةِ عَنِ الْمُسَافِرِ بِكَوْنِهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْظُهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيْعًا بِعَرَفَةَ وَكَانَ يَوْمُ جُمُعَةٍ ، فَدَلَّ ذَالِكَ مِنْ فِعْلِهِ عَلَى اَنَّهُ لَا جُمُعَةَ عَلَى مُسَافِرٍ فَهُوَ عَمَلٌ صَحِيْحٌ – فتح الباري : ٢:٥٥٥ -
Alhafidz Ibnu Hajar berkata : adapun yang dijadikan hujjah oleh Ibnu Mundzir yaitu gugurnya jum’at bagi orang yang safar dengan sebab Nabi SAW sholat dzuhur dan ashar dengan dijama’ di Arofah dan hari itu adalah hari jum’at , maka itu menunjukkan perbuatan Nabi bahwa tidak wajib jum’at bagi yang safar, maka itu adalah pengamalan yang benar (Fathul Bari : 2 :555)
4. Ashshon’ani :
قَالَ اَلصَّنْعَانِى : وَالْمُسَافِرُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ حُضُوْرُهَا ... وَلِذَا لَمْ يُنْقَلْ اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْجُمُعَةَ بِعَرَفَاتِ فِى حجَّةِ الْوَدَاعِ لِاَنَّهُ كَانَ مُسَافِرًا – سبل السلام :٢:٥٨ - Ashshon’ani berkata : Musafir tidak wajib melakukan jum’at, karena tidak diriwayatkan bahwa Nabi sholat jum’at di Arofah pada waktu haji wada karena Nabi dalam keadaan safar (Subulu Assalam : 2 : 58)
5. Ibnu Taimiyah :
قَالَ اِبْنُ تَيْمِيَّةَ : فَاِنَّ الْجُمُعَةَ لَا يَجِبُ عَلَى مُسَافِرٍ – مجموع الفتاوى :٢٤:٦٨ -
Ibnu Taimiyah berkata : sesungguhnya jum’at itu tidak wajib bagi yang safar (Majmu’ul fatawa : 24 : 68
قَالَ اِبْنُ قُدَامَةَ فِى الْمُغْنِى : اَكْثَرُ اَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ اَنَّهُ لَا جُمْعَةَ عَلَيْهِ ، كَذَالِكَ قَالَهُ مَالِكُ فِى اَهْلِ الْمَدِيْنَةَ ، قَالَ وَلَنَا اَنَّ النَّبِيَّ (ص) كَانَ يُسَافِرُ فَلَا يُصَلَّى الْجُمُعَةَ فِى سَفَرِهِ وَكَانَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ بِعَرَفَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمَعَ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يُصَلِّ جُمُعَةَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُوْنَ كَانُوْا يُسَافِرُوْنَ فِى الْحَجِّ وَغَيْرِهِ فَلَمْ يُصَلِّ اَحَدٌ مِنْهُمُ الْجُمُعَةَ فِى سَفَرِهِ وَكَذَالِكَ غَيْرُهُمْ مِنْ اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَمَنْ بَعْدَهُمْ – فتح الربانى :٦:٣١-
Berkata Ibnu Qudamah dalam Almugni : Kebanyakan para ahli ilmu berpendapat, bahwa tidak jum’at bagi yang safar, demikian juga pendapat imam Malik, dia ahli Madinah, ia berkata : kami memiliki alasan bahwa Nabi safar dan tidak melakukan sholat jum’at dalam safarnya Nabi pada waktu haji wada di Arofah hari jum’at Nabi sholat dzuhur dan ashar, Nabi menjama’ keduanya dan tidak sholat jum’at, demikian juga para khulafa’u arrosyidin, mereka safar diwaktu haji dan yang lainnya, maka tidak ada seorangpun diantara mereka melakukan jum’at diwaktu safarnya, demikian juga para shohabat yang lainnya dikalangan para shohabat Rosullalah dan orang-orang setelah mereka (Fathurrobani : 6 : 31)
Demikian pendapat mereka ahli hadits, yaitu tidak wajib jum’at bagi mereka yang safar, berdasarkan perbuatan Nabi pada waktu haji wada di Arofah, Nabi tidak melakukan jum’at tetapi dzuhur dua roka’at dan dijama’ dengan ashar.
Demikian juga dalam perjalanan Nabi dari Madinah ke Makkah yang tentu memakan waktu lebih dari satu minggu dan kepulangan Nabi dari Makkah ke Madinah ternyata tidak diriwayatkan, bahwa Nabi dan para shohabatnya melaksanakan jum’at di perjalanan padahal Nabi berangkat dengan jumlah yang besar dari Madinah, kurang lebih 114.000 orang, andai Nabi dan para shohabatnya melaksanakan jum’at, tentu saja tidak akan luput dari liputan para shohabat, karena hal itu merupakan peristiwa besar juga menyangkut masalah agama perlu dicatat dalam sejarah dan diamalkan oleh generasi berikutnya. Wallahua'lam.
Adapun Hadits yang menjelaskan Nabi Wukuf pada hari jum’at :
عَنْ طَارِقٍ بْنِ شِهِابٍ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْيَهُوْدِ لِعُرَبْنِ الْخَطَّابِ: يَاأَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ لَوْ عَلَيْنَا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ (اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا) لَاَتَّخَذْنَا ذَالِكَ الْيَوْمَ عِيْدًا .فَقَالَ لَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ اِنِّيْ اَعْلَمُ اَيَّ يَوْمٍ اُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ اُنْزِلَتْ يَوْمَ عَرَفَةَ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ – الترمذي : ٥:٢٥٠ -
Dari Thoriq Ibnu Syihab berkata: seorang Yahudi berkata kepada Umar ibnu Khottob : hai amirul mu’minin, kalau saja ayat ini diturunkan kepada kami (Alyauma akmaltu lakum ....:pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku cukupkan untukmu ni’mat-Ku, dan telah Aku ridloi islam itu sebagai agamamu), pasti akan kami jadikan hari tersebut untuk diperingati, Umar ibnu Khottob menjawab padanya : sungguh aku lebih tahu kapan diturunkannya ayat tersebut, yaitu pada hari Arofah pada hari jum’at (HR: Tirmidzi : 5 : 250)
Dalam riwayat imam Bukhori juga dikatakan
قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِى نُزِلَتْ فِيْهِ عَلَى النَّبِيِّ (ص) وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةَ
Umar berkata : kami tahu hari itu dan tempat dimana ayat itu turun kepada Nabi, yaitu disaat dia berdiri di Arofah pada hari Jum’at (HR : Bukhori : 1 : 17)
Ada yang mengatakan bahwa wukuf Nabi SAW hari Sabtu bukan hari jum’at, seandainya keterangan itu benar tetap saja tidak akan menggugurkan alasan Musafir boleh tidak jum’at, mengingat seandainya Nabi wukuf pada hari sabtu berarti kemarinya hari jum’at Nabi ada di Mina(hari tarwiyah), sedangkan di Mina Nabi SAW tidak jum’at.
فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ تَوَجَّهُوا اِلَى مِنَى فَأَهَلُّوْا بِالْحَجِّ وَرَكِبَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) فَصَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ (مسلم : ٨:٣٣٧)
Maka ketika hari tarwiyah, mereka pergi menuju Mina kemudian berihrom untuk haji, dan Rosullalah SAW naik kendaraan (unta) kemudian sholat dzuhur, ashar, magrib, isya dan shubuh (di Mina) (HR : Muslim : 8:337)
Shahabat yang tidak melaksanakan jum’at ketika safar :
1. Ibnu Umar
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ بْنَ عُمَرَ ذُكِرَ لَهُ اَنَّ سَعِيْدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ وَكَانَ بَدْرِيًّا مَرِضَ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ فَرَكِبَ اِلَيْهِ بَعْدَ اَنْ تَعَالَى النَّهَارُ وَاقْتَرَبَتِ الْجُمُعَةُ وَ تَرَكَ الْجُمُعَةُ
Dari Nafi’ sesungguhnya Ibnu Umar diberitahukan kepada beliau bahwasannya Sa’id ibnu Zaid ibnu Amr ibnu Nufail, orang Badar, sakit pada hari jum’at lalu Ibnu Umar berangkat menengoknya menjelang siang dan telah dekat waktu jum’at, dan dia tidak melaksanakan jum’at (HR : Bukhori , Fathul Barri : 8 : 360)
2. Anas bin Malik
عَنِ الْحَسَنِ اَنَّ اَنَسَ بْنِ مَالِكٍ اَقَامَ بِنَيْسَابُوْرَ سَنَةً اَوْ سَنَتَيْنِ فَكَانَ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُسَلِّمُ وَلَا يَجْمَعُ (ابن ابى شيبة)
Dari Hasan : sesungguhnya Anas bin Malik tinggal di Naisabur setahun atau dua tahun, maka ia suka sholat dua roka’at kemudian salam dan ia tidak melakukan jum’at (HR : Ibnu Abi Syaibah)
... كَانَ اَنَسٌ فِى قَصْرِهِ اَحْيَانًا يَجْمَعُ وَاَحْيَانًا لَا يَجْمَعُ وَهُوَ بِالزَّاوِيَةِ عَلَى فَرْسَخَيْنِ (البخاري ، فتح الباري : ٢:٥٤٦)
... Anas tinggal digedungnya, terkadang ia berjum’at dan terkadang tidak jum’at, ia tinggal di Zawiyah sejauh dua farsakh (6 mil) (HR: Bukhori , Fathul Barri : 2 : 546)
1. Ibnu Qoyyim menjelaskan :
وَوَقَفَ بِعَرَفَةَ وَخَطَبَ خُطْبَةً وَاحِدَةً وَلَمْ تَكُنْ خُطْبَتَيْنِ جَلَسَ بَيْنَهُمَا فَلَمَّا اَتَمَّهَا اَمَرَ بِلَالًا فَاَذَّنَ ثُمَّ اَقَامَ الصَّلَاةَ فَصَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ اَسَرَّ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ وَكَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَدَلَّ عَلَى اَنَّ الْمُسَافِرَ لَا يُصَلِّى جُمْعَةً ثُمَّ اَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ اَيْضًا وَمَعَهُ اَهْلُ مَكَّةَ (زاد المعاد : ٢:٢١٦)
Kemudian Nabi Wukuf di Arofah dan berkhutbah satu kali khutbah, bukan dua kali khutbah yang ada duduk diantara keduanya, dan ketika Nabi menyelesaikannya, Nabi memerintahkan Bilal untuk adzan lalu qomat kemudian sholat dzuhur dua roka’at dengan mensirkan bacaannya dan hari ituadalah hari jum’at, maka ini dalil bahwa yang safar tidak sholat jum’at, kemudian Bilal qomat lalu Nabi sholat ashar juga dua roka’at (diqishor) ... (Zadul Ma’ad : 2 : 216)
2. Imam Malik :
قَالَ الْمَالِكُ : وَالْاَمْرُ الَّذِي لَااخْتِلَافَ فِيْهِ عِنْدَنَا اَنَّ الْاِمَامَ لَا يَجْهَرُ بِالْقُرْآنِ فِى الظُّهْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَاِنَّهُ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَاَنَّ الصَّلَاةَ يَوْمَ عَرَفَةَ اِنَّمَا هِيَ ظُهْرٌ وَاِنْ وَفَقَتِ الْجُمُعَةَ فَاِنَّمَا هِيَ ظُهْرٌ وَلَكِنَّهَا قُصِرَتْ مِنْ اَجْلِ السَّفَرِ – الموطاء : ١:٣٦٧ –
Imam Malik berkata : Urusan yang tidak ada perselisihan lagi padanya menurut kami, sesungguhnya imam tidak perlu menjaharkan Alqur-an pada waktu sholat dzuhur di hari arofah, dan seseungguhnya Nabi SAW khutbah kepada para shohabat pada hari arofah dan sesungguhnya sholat pada hari arofah itu adalah dzuhur walau kebetulan pada hari jum’at, karena sesungguhnya itu adalah dzuhur, hanya saja diqoshor karena safar (Al-Muwaththo : 1 : 367)
3. Ibnu Hajar Al-Asqolani :
قَالَ الْحَافِظُ اِبْنُ حجر : وَاَمَّا اِحْتَجَّ بِهِ اِبْنُ الْمُنْذِرِ عَلَى سُقُوْطِ الْجُمُعَةِ عَنِ الْمُسَافِرِ بِكَوْنِهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْظُهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيْعًا بِعَرَفَةَ وَكَانَ يَوْمُ جُمُعَةٍ ، فَدَلَّ ذَالِكَ مِنْ فِعْلِهِ عَلَى اَنَّهُ لَا جُمُعَةَ عَلَى مُسَافِرٍ فَهُوَ عَمَلٌ صَحِيْحٌ – فتح الباري : ٢:٥٥٥ -
Alhafidz Ibnu Hajar berkata : adapun yang dijadikan hujjah oleh Ibnu Mundzir yaitu gugurnya jum’at bagi orang yang safar dengan sebab Nabi SAW sholat dzuhur dan ashar dengan dijama’ di Arofah dan hari itu adalah hari jum’at , maka itu menunjukkan perbuatan Nabi bahwa tidak wajib jum’at bagi yang safar, maka itu adalah pengamalan yang benar (Fathul Bari : 2 :555)
4. Ashshon’ani :
قَالَ اَلصَّنْعَانِى : وَالْمُسَافِرُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ حُضُوْرُهَا ... وَلِذَا لَمْ يُنْقَلْ اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْجُمُعَةَ بِعَرَفَاتِ فِى حجَّةِ الْوَدَاعِ لِاَنَّهُ كَانَ مُسَافِرًا – سبل السلام :٢:٥٨ - Ashshon’ani berkata : Musafir tidak wajib melakukan jum’at, karena tidak diriwayatkan bahwa Nabi sholat jum’at di Arofah pada waktu haji wada karena Nabi dalam keadaan safar (Subulu Assalam : 2 : 58)
5. Ibnu Taimiyah :
قَالَ اِبْنُ تَيْمِيَّةَ : فَاِنَّ الْجُمُعَةَ لَا يَجِبُ عَلَى مُسَافِرٍ – مجموع الفتاوى :٢٤:٦٨ -
Ibnu Taimiyah berkata : sesungguhnya jum’at itu tidak wajib bagi yang safar (Majmu’ul fatawa : 24 : 68
قَالَ اِبْنُ قُدَامَةَ فِى الْمُغْنِى : اَكْثَرُ اَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ اَنَّهُ لَا جُمْعَةَ عَلَيْهِ ، كَذَالِكَ قَالَهُ مَالِكُ فِى اَهْلِ الْمَدِيْنَةَ ، قَالَ وَلَنَا اَنَّ النَّبِيَّ (ص) كَانَ يُسَافِرُ فَلَا يُصَلَّى الْجُمُعَةَ فِى سَفَرِهِ وَكَانَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ بِعَرَفَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمَعَ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يُصَلِّ جُمُعَةَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُوْنَ كَانُوْا يُسَافِرُوْنَ فِى الْحَجِّ وَغَيْرِهِ فَلَمْ يُصَلِّ اَحَدٌ مِنْهُمُ الْجُمُعَةَ فِى سَفَرِهِ وَكَذَالِكَ غَيْرُهُمْ مِنْ اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَمَنْ بَعْدَهُمْ – فتح الربانى :٦:٣١-
Berkata Ibnu Qudamah dalam Almugni : Kebanyakan para ahli ilmu berpendapat, bahwa tidak jum’at bagi yang safar, demikian juga pendapat imam Malik, dia ahli Madinah, ia berkata : kami memiliki alasan bahwa Nabi safar dan tidak melakukan sholat jum’at dalam safarnya Nabi pada waktu haji wada di Arofah hari jum’at Nabi sholat dzuhur dan ashar, Nabi menjama’ keduanya dan tidak sholat jum’at, demikian juga para khulafa’u arrosyidin, mereka safar diwaktu haji dan yang lainnya, maka tidak ada seorangpun diantara mereka melakukan jum’at diwaktu safarnya, demikian juga para shohabat yang lainnya dikalangan para shohabat Rosullalah dan orang-orang setelah mereka (Fathurrobani : 6 : 31)
Demikian pendapat mereka ahli hadits, yaitu tidak wajib jum’at bagi mereka yang safar, berdasarkan perbuatan Nabi pada waktu haji wada di Arofah, Nabi tidak melakukan jum’at tetapi dzuhur dua roka’at dan dijama’ dengan ashar.
Demikian juga dalam perjalanan Nabi dari Madinah ke Makkah yang tentu memakan waktu lebih dari satu minggu dan kepulangan Nabi dari Makkah ke Madinah ternyata tidak diriwayatkan, bahwa Nabi dan para shohabatnya melaksanakan jum’at di perjalanan padahal Nabi berangkat dengan jumlah yang besar dari Madinah, kurang lebih 114.000 orang, andai Nabi dan para shohabatnya melaksanakan jum’at, tentu saja tidak akan luput dari liputan para shohabat, karena hal itu merupakan peristiwa besar juga menyangkut masalah agama perlu dicatat dalam sejarah dan diamalkan oleh generasi berikutnya. Wallahua'lam.
Sumber:http://abumundziralghifary.blogspot.co.id/2013/03/yang-boleh-tidak-mengikuti-shalat-jumat.html
0 komentar:
Posting Komentar