Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia menundukkan hawa nafsunya untuk tunduk pada ajaran yang aku bawa.” (Diriwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih menurut Imam Nawawi. Namun penshahihan hadits ini tidak tepat menurut Ibnu Rajab).
Walau hadits di atas adalah hadits yang dha’if, namun maknanya benar. Makna hadits tersebut menurut Ibnu Rajab Al-Hambali, kita dikatakan memiliki iman yang sempurna yang sifatnya wajib ketika kita tunduk pada ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya serta mencintai perintah dan membenci setiap larangan. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 395.
Banyak dalil lain yang menjelaskan semisal itu. Seperti firman Allah Ta’ala,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Dalam ayat lain juga disebutkan,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Sedangkan orang yang membenci sesuatu yang Allah cintai atau mencintai sesuatu yang Allah benci, dialah yang mendapatkan celaaan.
Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9)
Juga disebutkan dalam surat yang sama,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 28)
Melakukan yang Wajib dan Sunnah, Meninggalkan yang Haram dan Makruh
Wajib bagi setiap mukmin mencintai segala yang Allah cintai sehingga harus baginya melakukan perkara yang wajib. Jika kecintaannya bertambah, ia menambah lagi dengan melakukan amalan sunnah. Itulah tambahan untuknya.
Begitu pula wajib bagi setiap muslim membenci segala yang Allah benci sehingga sudah selayaknya baginya menahan diri dari segala perkara yang haram. Rasa bencinya ditambah lagi dengan meninggalkan hal yang makruh (makruh tanzih).
Ada hadits dalam shahihain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman sampai aku lebih ia cintai dari orang tua, anak dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari, no. 15; Muslim, no. 44)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Seorang hamba tidaklah beriman hingga aku lebih ia cintai dari keluarga, harta, dan manusia seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 44)
Jangan Sampai Cinta Allah dan Rasul Dikalahkan oleh Dunia
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)
Dalam ayat disebutkan harta yang ia usahakan. Dikhususkan demikian karena yang memiliki harta tentu sangat cinta sekali pada hartanya. Apalagi harta tersebut diperoleh dengan keletihan dan kepayahan tentu lebih dicintai dibanding dengan yang tidak demikian.
Sedangkan yang dimaksudkan perdagangan dalam ayat di atas itu umum, mencakup berbagai bentuk perdagangan dan berbagai aset yang dijual, ada berupa alat tukar, bejana, senjata, barang-barang, biji-bijian, tanaman dan ternak.
Begitu pula tempat tinggal yang bagus dan penuh dengan berbagai perhiasan serta rumah yang sesuai keinginan.
Jika itu semua lebih dicintai dari Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan Allah, maka ia termasuk orang yang fasik lagi zalim. Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsirnya, Taisir Al-Karim Ar-Rahman.
Bahkan Rasul Harus Lebih Dicintai dari Diri Sendiri
Dari ‘Abdullah bin Hisyam, ia berkata,
كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَهْوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ كُلِّ شَىْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِى . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ » . فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الآنَ وَاللَّهِ لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ نَفْسِى . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « الآنَ يَا عُمَرُ »
“Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ketika itu memegang tangan Umar bin Al-Khattab. ‘Umar berkata pada beliau, “Wahai Rasulullah, engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, pokoknya aku tetap harus lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.” Umar pun berkata, “Sekarang, demi Allah, engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pokoknya mulai dari sekarang wahai Umar.” (HR. Bukhari, no. 6632).
Timbulnya Maksiat dan Bid’ah
Semua maksiat timbul karena seseorang mendahulukan hawa nafsu daripada kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya. Contoh yang disebutkan oleh Allah tentang orang musyrik,
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qashshash: 50)
Begitu pula bid’ah bisa muncul karena mendahulukan hawa nafsu daripada mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekarang, sudahkah kita benar-benar mencintai Rasul dan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah kita malah mengedepankan hawa nafsu kita?
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Sumber : https://rumaysho.com/12601-menundukkan-hawa-nafsu-demi-mengikuti-ajaran-nabi.html
0 komentar:
Posting Komentar