Hadits (ejaan KBBI: hadis, bahasa Arab: الحديث dengarkan , transliterasi: Al-Hadîts), adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur’an, dalam hal ini kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Kedudukannya yang lebih lengkap adalah sebagai berikut:
Al-Qur’an
Hadits
Ijtihad:
Ijma (kesepakatan para ulama),
Qiyas (menetapkan suatu hukum atas perkara baru yang belum ada pada masa Nabi Muhammad hidup).
Hadits
Ijtihad:
Ijma (kesepakatan para ulama),
Qiyas (menetapkan suatu hukum atas perkara baru yang belum ada pada masa Nabi Muhammad hidup).
Hadits secara harfiah berarti “berbicara”, “perkataan” atau “percakapan”. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad .
Menurut istilah ulama ahli hadits,[siapa?] hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad , baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi’tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3]
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya menyampaikan sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri” (hadits riwayat Bukhari)
Sanad
Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) hadits. Rawi adalah masing-masing orang yang menyampaikan hadits tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari, Musaddad, Yahya, Syu’bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits); orang ini disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Sanad
Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) hadits. Rawi adalah masing-masing orang yang menyampaikan hadits tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari, Musaddad, Yahya, Syu’bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits); orang ini disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari –> Musaddad –> Yahya –> Syu’bah –> Qatadah –> Anas –> Nabi Muhammad
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :
Keutuhan sanadnya
Jumlahnya
Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
Jumlahnya
Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
Rawi
Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadits. Sifat-sifat rawi yang ideal adalah:
Bukan pendusta atau tidak dituduh sebagai pendusta
Tidak banyak salahnya
Teliti
Tidak fasik
Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu (peragu)
Bukan ahli bid’ah
Kuat ingatannya (hafalannya)
Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat
Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli hadits pada jamannya.
Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh ahli-ahli hadits yang semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli hadits di masa-masa yang berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang tidak ada catatannya dinamakan maj’hul, dan hadits yang diriwayatkannya tidak boleh diterima.
Matan
Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadits. Sifat-sifat rawi yang ideal adalah:
Bukan pendusta atau tidak dituduh sebagai pendusta
Tidak banyak salahnya
Teliti
Tidak fasik
Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu (peragu)
Bukan ahli bid’ah
Kuat ingatannya (hafalannya)
Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat
Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli hadits pada jamannya.
Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh ahli-ahli hadits yang semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli hadits di masa-masa yang berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang tidak ada catatannya dinamakan maj’hul, dan hadits yang diriwayatkannya tidak boleh diterima.
Matan
Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri”
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah:
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah:
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).
Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu’ (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqthu’:
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu’ (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqthu’:
Hadits Marfu’ adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad (contoh: hadits di atas)
Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: “Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Pernyataan dalam contoh itu tidak jelas, apakah berasal dari Nabi atau sekedar pendapat para sahabat. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat adalah seperti “Kami diperintahkan..”, “Kami dilarang untuk…”, “Kami terbiasa… jika sedang bersama Rasulullah”, maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu’.
Hadits Maqthu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada para tabi’in (penerus) atau sebawahnya. Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: “Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu”.
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah dari ucapan para sahabat maupun tabi’in di mana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).
Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: “Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Pernyataan dalam contoh itu tidak jelas, apakah berasal dari Nabi atau sekedar pendapat para sahabat. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat adalah seperti “Kami diperintahkan..”, “Kami dilarang untuk…”, “Kami terbiasa… jika sedang bersama Rasulullah”, maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu’.
Hadits Maqthu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada para tabi’in (penerus) atau sebawahnya. Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: “Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu”.
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah dari ucapan para sahabat maupun tabi’in di mana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).
Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Mursal, Munqathi’, Mu’allaq, Mu’dlal dan Mudallas. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Mursal, Munqathi’, Mu’allaq, Mu’dlal dan Mudallas. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.
Ilustrasi sanad: Pencatat hadits > Penutur 5> Penutur 4> Penutur 3 (tabi’ut tabi’in) > Penutur 2 (tabi’in) > Penutur 1 (para shahabi) > Rasulullah
Hadits Musnad. Sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Urut-urutan penutur memungkinkan terjadinya penyampaian hadits berdasarkan waktu dan kondisi, yakni rawi-rawi itu memang diyakini telah saling bertemu dan menyampaikan hadits. Hadits ini juga dinamakan muttashilus sanad atau maushul.
Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah (contoh: seorang tabi’in (penutur 2) mengatakan “Rasulullah berkata…” tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
Hadits Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua penutur yang tidak berturutan, selain shahabi.
Hadits Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
Hadits Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias tidak ada sanadnya. Contoh: “Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan….” tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah.
Hadits Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan “..si A berkata ..” atau “Hadits ini dari si A..” tanpa ada kejelasan “..kepada saya..”; yakni tidak tegas menunjukkan bahwa hadits itu disampaikan kepadanya secara langsung. Bisa jadi antara rawi tersebut dengan si A ada rawi lain yang tidak terkenal, yang tidak disebutkan dalam sanad. Hadits ini disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, atau hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad.
Hadits Musnad. Sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Urut-urutan penutur memungkinkan terjadinya penyampaian hadits berdasarkan waktu dan kondisi, yakni rawi-rawi itu memang diyakini telah saling bertemu dan menyampaikan hadits. Hadits ini juga dinamakan muttashilus sanad atau maushul.
Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah (contoh: seorang tabi’in (penutur 2) mengatakan “Rasulullah berkata…” tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
Hadits Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua penutur yang tidak berturutan, selain shahabi.
Hadits Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
Hadits Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias tidak ada sanadnya. Contoh: “Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan….” tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah.
Hadits Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan “..si A berkata ..” atau “Hadits ini dari si A..” tanpa ada kejelasan “..kepada saya..”; yakni tidak tegas menunjukkan bahwa hadits itu disampaikan kepadanya secara langsung. Bisa jadi antara rawi tersebut dengan si A ada rawi lain yang tidak terkenal, yang tidak disebutkan dalam sanad. Hadits ini disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, atau hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad.
Hadits Mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan generasi (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (lafaz redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
Hadits Ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain mungkin terdapat banyak penutur)
Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan, pada lapisan lain lebih banyak)
Masyhur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan, dan pada lapisan lain lebih banyak) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Dinamai juga hadits mustafidl.
Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, dla’if dan maudlu’.
Hadits Ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain mungkin terdapat banyak penutur)
Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan, pada lapisan lain lebih banyak)
Masyhur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan, dan pada lapisan lain lebih banyak) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Dinamai juga hadits mustafidl.
Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, dla’if dan maudlu’.
Hadits Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Sanadnya bersambung (lihat Hadits Musnad di atas);
Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
Pada saat menerima hadits, masing-masing rawi telah cukup umur (baligh) dan beragama Islam.
Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (’illat).
Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, namun ada sedikit kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat.
Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa hadits mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
Hadits Maudlu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.
Jenis-jenis lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
Sanadnya bersambung (lihat Hadits Musnad di atas);
Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
Pada saat menerima hadits, masing-masing rawi telah cukup umur (baligh) dan beragama Islam.
Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (’illat).
Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, namun ada sedikit kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat.
Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa hadits mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
Hadits Maudlu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.
Jenis-jenis lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja dan rawi itu dituduh berdusta.
Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya/jujur.
Hadits Mu’allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi (’illat). Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadits Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits Ma’lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi melalui beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama atau bahkan kontradiksi dengan yang dikompromikan
Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya, baik dalam hal matan (isi) atau sanad (silsilah)
Hadits Gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh rawi, misalnya penjelasan-penjelasan yang bukan berasal dari Nabi
Hadits Syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya namun bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari rawi-rawi yang lain. Hadits syadz bisa jadi berderajat shahih, akan tetapi berlawanan isi dengan hadits shahih yang lebih kuat sanadnya. Hadits yang lebih kuat sanadnya ini dinamakan Hadits Mahfuzh.
Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya/jujur.
Hadits Mu’allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi (’illat). Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadits Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits Ma’lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi melalui beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama atau bahkan kontradiksi dengan yang dikompromikan
Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya, baik dalam hal matan (isi) atau sanad (silsilah)
Hadits Gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh rawi, misalnya penjelasan-penjelasan yang bukan berasal dari Nabi
Hadits Syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya namun bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari rawi-rawi yang lain. Hadits syadz bisa jadi berderajat shahih, akan tetapi berlawanan isi dengan hadits shahih yang lebih kuat sanadnya. Hadits yang lebih kuat sanadnya ini dinamakan Hadits Mahfuzh.
Hadits qudsi ialah hadits yang berisi perkataan Rasulullah mengenai firman Allah yang diwahyukan secara langsung. Makna hadits ini berasal dari Allah, akan tetapi –berbeda dengan Alquran–, kata-katanya adalah kata-kata Rasulullah. Hadits qudsi ini, sebagian, kemudian disampaikan kepada sahabat-sahabat Rasul yang tertentu. Karenanya, tingkat kesahihan hadits qudsi ini serupa dengan hadits yang lain-lain, dan diukur dengan cara yang serupa pula di atas.
Yakni ahli-ahli hadits yang mengumpulkan, mendaftar, menyeleksi dan menuliskan hadits-hadits dalam suatu kitab hadits. Dikenal sebagai mudawwin atau mukharrij.
Sampul kitab hadits Sahih Bukhari
Periwayat umat Muslim
Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H).
Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H).
Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H).
Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H).
Sunan an-Nasa’i, disusun oleh an-Nasa’i (215-303 H).
Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
Musnad Ahmad, disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
Muwatta Malik, disusun oleh Imam Malik (93-179 H).
Sunan Darimi, disusun oleh Ad-Darimi (181-255 H).
Periwayat umat Syi’ah
Umat Syi’ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad , melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi’ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi’ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, yang melawan Ali pada Perang Jamal.
Periwayat umat Muslim
Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H).
Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H).
Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H).
Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H).
Sunan an-Nasa’i, disusun oleh an-Nasa’i (215-303 H).
Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
Musnad Ahmad, disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
Muwatta Malik, disusun oleh Imam Malik (93-179 H).
Sunan Darimi, disusun oleh Ad-Darimi (181-255 H).
Periwayat umat Syi’ah
Umat Syi’ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad , melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi’ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi’ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, yang melawan Ali pada Perang Jamal.
Ada beberapa sekte dalam Syi’ah, tetapi sebagian besar menggunakan:
Ushul al-Kafi
Al-Istibshar
Al-Tahdzib
Man La Yahduruhu al-Faqih
Beberapa istilah dalam ilmu hadits
Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:
Al-Istibshar
Al-Tahdzib
Man La Yahduruhu al-Faqih
Beberapa istilah dalam ilmu hadits
Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:
Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan hadits Bukhari dan Muslim
As-Sab’ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’i dan Imam Ibnu Majah
As-Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut di atas selain Ahmad bin Hambal (Imam Ibnu Majah)
Al-Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
Al-Arba’ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
Ats-Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
As-Sab’ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’i dan Imam Ibnu Majah
As-Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut di atas selain Ahmad bin Hambal (Imam Ibnu Majah)
Al-Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
Al-Arba’ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
Ats-Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku hadits. Itulah pembentukan hadits.
Masa pembentukan hadits
Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. Pada saat ini Nabi Muhammad sempat melarang penulisan hadits agar tidak tercampur dengan periwayatan Al Qur’an, namun setelah beberapa waktu, beliau Shalallahu alaihi wassallam membolehkan penulisan hadits dari beberapa orang sahabat yang mulia, seperti Abdullah bin Mas’ud, Abu Bakar, Umar, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dllnya. Periode ini dimulai sejak muhammad diangkat sebagai nabi dan rosul hingga wafatnya (610M-632 M)
Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. Pada saat ini Nabi Muhammad sempat melarang penulisan hadits agar tidak tercampur dengan periwayatan Al Qur’an, namun setelah beberapa waktu, beliau Shalallahu alaihi wassallam membolehkan penulisan hadits dari beberapa orang sahabat yang mulia, seperti Abdullah bin Mas’ud, Abu Bakar, Umar, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dllnya. Periode ini dimulai sejak muhammad diangkat sebagai nabi dan rosul hingga wafatnya (610M-632 M)
Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini hadits belum ditulis ataupun dibukukan, kecuali yang dilakukan oleh beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, dllnya.. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini hadits belum ditulis ataupun dibukukan, kecuali yang dilakukan oleh beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, dllnya.. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
Masa penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan ‘aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat dan tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan hadits marfu’ dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu’.
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan ‘aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat dan tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan hadits marfu’ dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu’.
Masa pendiwanan dan penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu’ (berisi prilaku tabi’in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud di atas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad ke-4 Hijriyah.
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu’ (berisi prilaku tabi’in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud di atas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad ke-4 Hijriyah.
Berdasarkan masa penghimpunan hadits
Abad ke-2 Hijriyah
Beberapa kitab yang terkenal:
Beberapa kitab yang terkenal:
Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
Al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (tahun 150 – 204 H / 767 – 820 M)
Mukhtaliful Hadits oleh As Syafi’i
Al Jami’ oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani
Mushannaf Syu’bah oleh Syu’bah bin Hajjaj (tahun 82 – 160 H / 701 – 776 M)
Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 – 190 H / 725 – 814 M)
Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa’ad (tahun 94 – 175 / 713 – 792 M)
As Sunan Al Auza’i oleh Al Auza’i (tahun 88 – 157 / 707 – 773 M)
As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para ‘lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa’, Al Musnad dan Mukhtaliful Hadits. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.
Abad ke-3 H
Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
Al Jami’ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
Al Jami’ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
Abad ke-4 H
Al Mu’jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mu’jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mu’jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
At Taqasim wal Anwa’ oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
Abad ke-5 H dan selanjutnya
Hasil penghimpunan
Bersumber dari Kutubus sittah saja
Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? – ? H / ? – 1084 M)
Bersumber dari kutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami’ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami’ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
Al Imam oleh Ibnul Daqiqil ‘Id (625-702 H / 1228-1302 M)
Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? – 652 H / ? – 1254 M)
Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
Al Muharrar oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
Kitab Al Hadits Akhlaq
At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
Syarh (semacam tafsir untuk hadits)
Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam An-Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu’allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh Asy-Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash-Shan’ani (wafat 1099 H / 1687 M)
Mukhtashar (ringkasan)
Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
Lain-lain
Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
Al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (tahun 150 – 204 H / 767 – 820 M)
Mukhtaliful Hadits oleh As Syafi’i
Al Jami’ oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani
Mushannaf Syu’bah oleh Syu’bah bin Hajjaj (tahun 82 – 160 H / 701 – 776 M)
Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 – 190 H / 725 – 814 M)
Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa’ad (tahun 94 – 175 / 713 – 792 M)
As Sunan Al Auza’i oleh Al Auza’i (tahun 88 – 157 / 707 – 773 M)
As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para ‘lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa’, Al Musnad dan Mukhtaliful Hadits. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.
Abad ke-3 H
Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
Al Jami’ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
Al Jami’ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
Abad ke-4 H
Al Mu’jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mu’jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mu’jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
At Taqasim wal Anwa’ oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
Abad ke-5 H dan selanjutnya
Hasil penghimpunan
Bersumber dari Kutubus sittah saja
Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? – ? H / ? – 1084 M)
Bersumber dari kutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami’ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami’ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
Al Imam oleh Ibnul Daqiqil ‘Id (625-702 H / 1228-1302 M)
Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? – 652 H / ? – 1254 M)
Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
Al Muharrar oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
Kitab Al Hadits Akhlaq
At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
Syarh (semacam tafsir untuk hadits)
Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam An-Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu’allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh Asy-Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash-Shan’ani (wafat 1099 H / 1687 M)
Mukhtashar (ringkasan)
Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
Lain-lain
Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
Sumber:https://ngajivirtual.wordpress.com/2015/01/08/hadist/
0 komentar:
Posting Komentar